Tan Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat pada 2 Juni 1897. Tan Malaka besar dari keluarga terpandang, ayahnya, HM Rasyad, bekerja sebagai pegawai pemerintah di bidang pertanian. Sedangkan ibunya, Rangkayo Sina berasal dari keluarga terpandang.
Tan Malaka merupakan tokoh yang aktif menulis buku yang mengangkat tentang pemikirannya. Salah satu pemikiran yang jauh mendahului zamannya adalah “Menuju Republik Indonesia” atau dalam bahasa Belanda “Naar de ‘Republiek Indonesia'”. Tulisan tersebut dibuat pada 1925 atau 20 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, yang memuat pemikirannya tentang bentuk negara republik.
Selain aktif menulis, Tan Malaka juga terlibat dalam sejumlah pendirian partai politik di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Namun akhirnya terbunuh dalam sebuah peristiwa di Kediri pada 1949.
PEMIKIRAN TAN MALAKA
Tan Malaka dalam melihat revolusi Indonesia tak jauh berbeda dengan para founding fathers lainya seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan lain-lain. Ia melihat revolusi Indonesia tidak berhenti pada revolusi politik semata mata namun melihatnya sebagai revolusi yang lebih global sifatnya, mulai dari revolusi penghapusan feodalisme, revolusi kemerdekaan dan revolusi social yang isinya harapan terhadap hadirnya masyarakat adil dan makmur. Untuk sebagian besar founding fathers kita, diartikan sebagai penolakan terhadap kapitalisme.
Menurut Tan Malaka Sosialisme dengan hakekat dan substansi yang sama memiliki bermacam variasi. Variasi tersebut bergantung dari asal kelahirannya. Namun, semuanya merupakan antitesis terhadap kapitalisme. Ada sosialisme Marx-Engels, ada sosialisme agama dan ada sosialisme idealis.
Dalam penerapannya pun, Tan Malaka mengatakan untuk tetap memperhatikan kondisi yang ada dalam masyarakat Indonesia. Seperti yang dinyatakan olehnya; “sosialisme 100% bisa dijalankan, adalah tergantung kekuatan lahir batin bangsa Indonesia sendiri dan keadaan disekitar Indonesia”. Tentang bentuk perekonomian yang bagaimana ditawarkan Tan Malaka pada rakyat Indonesia, Tan Malaka tampaknya yakin bahwa ekonomi sosialis lah yang menjadi idaman rakyat Indonesia dikemudian hari. Menurut keyakinannya, pengelompokan politik yang ada di Indonesia, seperti Islam yang mewakili kaum tani, nasionalis yang mewakili kaum borjuisi tengah serta sosialis yang mewakili kaum proletar. Dalam upaya membangun perekonomian Indonesia, di dalam brosur“Rentjana Ekonomi” yang ditulisnya tahun 1945, Tan Malaka menawarkan sebuah konsep rencana ekonomi untuk diterapkan dalam konteks negara Indonesia. Ekonomi sosialis menurutnya adalah rencana ekonomi yang dapat menolong rakyat Murba Indonesia keluar dari cengkraman kapitalisme yang telah menyengsarakan bangsanya selama ber abad-abad, dan ini segera dilenyapkan dari Indonesia.
Kapitalisme dalam pertumbuhannya hanya akan terakumulasinya modal pada kaum kapitalis yang jumlahnya sedikit, dan sebagian besar lainnya yaitu rakyat murba hanya akan menikmati sebagian terkecil dari jumlah modal tadi. Surplus values (nilai lebih) yang dikemukakan oleh Marx menurutnya adalah perampokan yang dilakukan si kapitalis terhadap hak rakyat Musyawarah Rakyat Banyak (Murba).
Inilah kritik terhadap perekonomian dunia yang menurutnya perekonomian yang berdasarkan kapitalisme, demokrasi dan fasisme tidak akan dapat mensejahterakan masyarakat Indonesia. Dalam perekonomian liberal klasik sebagaimana yang ditunjukkan Tan Malaka dengan merujuk kepada pendapat Marx, setiap individu merdeka untuk berproduksi sesukanya, menurut kaum kapitalis, maka hasrat mencari untung(profit motive) adalah hak setiap individu, dan ini diperkuat dengan teori ekonomi klasik yang menyatakan bahwa pertama, kegiatan ekonomi dalam sistem kapitalis digerakkan dan dikoordinasi oleh pasar (bebas) dengan instrument harga sebagai penanda (sinyal).
Namun menurut Tan Malaka sistem kapitalisme hanya akan menyebabkan siapa kuat secara modal maka itulah yang akan bertahan. Yang kedua, sistem itu akan memberikan pendapatan baru dan yang ketiga sistem ini pada akhirnya semakin mengekalkan perbedaan yang mencolok antara kelas bourjuis dan kelas proletar. Pembagian hasil produksi yang tidak sama dimana buruh hanya mendapatkan upah yang kecil, pada akhirnya membuat kondisi buruh tidak akan pernah menjadi lebih baik dan hidup terus dalam serba kekurangan. Dalam suasana masyarakat yang seperti ini, di mana masyarakat terbelah dua antara kelas bourjuasi dan kelas proletar maka barang yang banyak dihasilkan menjadi over produksi.
Kelas bourjuasi tidak habis mengkonsumsi, sementara kelas proletar tidak mempunyai kemampuan membeli. Sebagai puncak dari produksi anarchistis itu adalah persaingan hebat antara satu kapitalis dengan kapitalis lain dalam satu negara, dan selanjutnya persaingan antara satu negara kapitalis dengan negara kapitalis yang lainnya. Tiap-tiap negara kapitalis berlomba-lomba menanamkan modal di negara yang lemah atau negara dunia ketiga, lalu memonopoli hasil buminya untuk perindustrian negara kapitalis tersebut.
Perlombaan ini akhirnya memunculkan imperialisme dan perang imperialisme antara satu negara kapitalis dengan negara kapitalis lainnya, untuk memperebutkan tanah jajahan. Dan produksi anarchistis ini berakhir pada peperangan imperialisme.
Kalau dalam pendapat Marx produksi yang over tadi sebagai penyebab krisis, maka kelebihan produksinya di ekspor ke negara-negara terjajah tadi sebagai pangsa pasar baru. Siklus penindasannya pun berubah, tidak lagi seperti apa yang ada dalam kapitalisme klasik melalui penindasan majikan terhadap buruh dan pabrik. Namun dia berkembang melalui penindasan negara kapitalis terhadap negara terjajah atau negara dunia ketiga.