
Oleh : Ahmad Fadlali, S.Ag, M.A.
Tanpa terasa beberapa hari lagi kita meninggalkan bulan Ramadhan, bulan yang penuh dengan keutamaan dan keistimewa. Bulan yang membawa banyak keberkahan dan sebagai sarana menabung amal bekal untuk meraih ridha Allah. Di bulan ini, Allah SWT menganugerahkan satu malam yang istimewa. Al-Qur’an menyebutnya sebagai malam penentuan (lailatul qadr), yang nilainya lebih baik dari pada seribu bulan. Sebuah keberuntungan besar bagi siapa pun yang memperolehnya.
Puasa merupakan bagian dari iman (al-shaum rub’ul iman), kalau bukan iman, sulit kita menjalankan puasa bulan Ramadhan. Dalam hadits Rasulullah SAW disebutkan : “berpuasa adalah separuh kesabaran” (al-shaum nisf al-shabr) dan “kesabaran adalah separuh dari iman” (al-shabr nisf al-iman).
Pertanyaanya adalah setelah kita melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan ini, apakah puasa kita berhasil ? Untuk mengetahui berhasil atau tidak ibadah puasa kita, maka harus kita mengetahui tujuan dari ibadah puasa. Suatu pekerjaan dikatakan berhasil bila mampu mencapai tujuan yang diinginkan. Lalu apa sesungguhnya tujuan dari puasa Ramadhan ?
Tujuan puasa adalah “la’alakum tattaquun” Agar kita bertaqwa sebagai mana firman Allah dalam QS al Baqarah ayat 183 yang berbunyi ; Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa.
Maka, jika selepas Ramadhan kita menjadi bertaqwa atau lebih dekat dengan taqwa dari bulan-bulan sebelumnya, insya Allah puasa kita berhasil. Kemudian bagaimana mengukur ketaqwaan kita yang merupakan buah dari puasa Ramadhan? Allah SWT menjelaskan karakter orang yang bertaqwa dalam banyak ayat-Nya. Karakter-karakter itu memudahkan untuk mengevaluasi diri kita, apakah kita sudah bertaqwa atau sudah lebih dekat dengan taqwa. Dengan demikian, karakter-karakter itu juga memudahkan untuk mengevaluasi apakah puasa Ramadhan telah berhasil atau belum.
Dalam al Qur,an surat Ali Imran ayat 133-135 disebutkan ada empat karakter orang yang bertaqwa ;
Pertama, yunfiqûna fis-sarrâ’i wadl-dlarrâ’i yaitu berinfaq baik dalam kondisi lapang maupun sempit. Orang yang bertaqwa itu suka berinfaq, suka bersedekah, baik dalam kondisi lapang maupun sempit. Dalam kondisi kaya atau dalam kondisi belum kaya. Baik tanggal muda maupun tanggal tua. Jangan menunggu kaya untuk bersedekah, tetapi bersedekahlah sekarang maka kita akan kaya. Jika selepas Ramadhan, menjadi gemar berinfak maka itu adalah tanda bahwa puasa kita berhasil.
Sebuah sumur walaupun setiap hari di timba airnya tak akan pernah kering. Bila tidak di timba pun ketinggian air yang ada di dalam sumur itu juga tidak meningkat dan tetap saja seperti semula. Inilah hukum alam, dimana dalam alam semesta, juga tersimpan misteri yang bertujuan untuk selalu memberi.
Ada sebuah kisa inspiratif petani di Osaka Jepang yang sering mendapatkan penghargaan petani dengan jagung terbaik sepanjang musim. Suatu hari, seorang wartawan dari koran lokal melakukan wawancara untuk menggali rahasia kesuksesan petani tersebut. Wartawan itu menemukan bahwa ternyata petani itu selalu membagikan benih jagungnya kepada para tetangganya.
Bagaimana Anda bisa berbagi benih jagung dengan tetangga, lalu bersaing dalam kompetisi yang sama setiap tahunnya ? Pertanyaan wartawan itu dijawabnya dengan santai oleh sang petani. Angin menerbangkan serbuk sari dari jagung yang akan berbuah dan membawanya dari satu ladang ke ladang yang lain. Jika tetangga saya menanam jagung yang jelek, maka kualitas jagung saya akan menurun ketika terjadi serbuk silang. Jika ingin menghasilkan jagung kualitas unggul, maka harus membantu tetangga untuk menanam jagung yang bagus pula.
Petani ini sangat menyadari hukum keterhubungan dalam kehidupan. Dia tidak dapat meningkatkan kualitas jagungnya, jika tidak membantu tetangganya untuk melakukan hal yang sama. Dalam kehidupan ini, jika ingin menikmati kebaikan, mulailah dengan menabur kebaikan kepada orang-orang di sekitar kita.
Kedua orang yang bertaqwa adalah, wal-kâdhimînal-ghaidha (menahan marah). Imam an-Nawawi mendefenisikan marah dari perspektif ilmu tasawuf, sebagai tekanan nafsu dari hati yang mengalirkan darah pada bagian wajah yang berakibat timbulnya kebencian pada diri seseorang. Marah adalah sifat tercela yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu sifat ini dilarang oleh Islam. Sudah seharusnyalah kita berusaha mengendalikan sifat ini. Marah akan menutupi pikiran sehat seseorang, bahkan bahaya sosial dari marah teramat besar.
Amarah seseorang dapat menimbulkan biaya social yang mahal baginya. Watak pemarah mengakibatkan terjadinya disharmonis, putusnya silaturrahim (ukhuwwah), putusnya kekerabatan, persahabatan, kehilangan pekerjaan atau bahkan terkena hukuman pidana dalam kasus yang berujung pada penganiayaan atau pembunuhan.
Marah merupakan gejala manusiawi, akan tetapi orang-orang yang bertakwa tidak akan mengumbar marah begitu saja. Al-kâdhim (orang yang menahan) serumpun kata dengan al-kadhîmah (termos). Kedua-duanya mempunyai fungsi membendung : yang pertama membendung amarah, yang kedua membendung air panas. Selayaknya termos, orang bertakwa semestinya mampu menyembunyikan panas di dadanya, sehingg orang-orang di sekitarnya tidak tahu bahwa ia sedang marah. Bisa jadi ia tetap marah, namun ketakwaan mencegahnya melampiaskan kemarahannya. Termos hanya menuangkan air panas pada saat yang jelas maslahatnya dan betul-betul dibutuhkan. Ramadhan semestinya telah melatih orang untuk berlapang dada, bijaksana, dan tetap sejuk menghadapi situasi sepanas apa pun. Rasulullah SAW bersabda, Orang yang kuat itu bukanlah orang yang jago gulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan dirinya ketika sedang marah (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga orang yang bertaqwa adalah, wal-‘âfîna ‘anin-nâs yaitu memaafkan manusia / orang lain. Sepanjang Ramadhan, umat Islam dianjurkan memperbanyak permohonan maaf kepada Allah dengan membaca : Allahumma innaka ‘afuwwun kariim tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annaa yaa kariim. (Wahai Tuhan, Engkau Maha Pengampun, menyukai orang yang minta ampunan, ampunilah aku).
Kata afw (maaf) diulang tiga kali dalam kalimat tersebut, menunjukkan bahwa manusia memohon dengan sangat serius ampunan dari Allah SWT. Memohon ampun merupakan bukti kerendahan diri di hadapan-Nya sebagai hamba yang banyak melakukan kesalahan. Bila diri kita sendiri saja sering melakukan kesalahan, alasan apa yang membuat kita tidak mau memaafkan kesalahan orang lain?
Soal memaafkan ini sendiri ternyata pernah diteliti oleh berbagai ahli kesehatan. Dari sejumlah penelitian, memaafkan ternyata mampu mengurangi berbagai penyakit akibat memendam perasaan marah, seperti penyakit otak, penyakit jantung, dan penyakit nyeri kronis. Memafkan kesalahan orang lain mendapat bonus sehat, dan kita akan menjadi pemenang dalam hati kita dan juga dalam kehidupan.
Keempat, Taubat. Orang yang bertaqwa itu segera bertaubat kepada Allah jika ia melakukan kesalahan atau kemaksiatan. Taubat secara etimologi berasal dari bahasa Arab taba, yatubu yang berarti kembali, menyesal atas perbuatan dosa atau bertaubat. Rasa kesedihan seseorang terhadap dosa yang dikerjakannya, kemudian ia tinggalkan dosa itu, dan bertekad dengan pasti untuk tidak akan mengulangi dosa yang pernah dilakukannya pada masa yang akan datang dan berjanji dengan sepenuh hati untuk mengisi kehidupan selanjutnya dengan kehidupan baik yang di ridhoi oleh Allah SWT.
Taubat menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah adalah menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan di masa lampau, membebaskan diri seketika itu pula dari dosa tersebut dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang. Lebih jelasnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Madarijus salikin mengatakan bahwa taubat merupakan media permulaan, pertengahan dan akhir bagi seorang hamba yang sedang melakukan perjalanan kepada Allah.
Taubat sejatinya merupakan pintu masuk bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah sebab dalam taubat ada penyesalan terhadap perbuatan tercela yang telah dilakukan di masa silam sekaligus terdapat daya tarik (ikhtiar) kebangkitan jiwa dari seorang hamba untuk berbuat kebaikan di masa yang akan datang. Bagi Ibnu Qayyim al-Jauziyah ada tiga syarat yang harus terkumpul dalam taubat. Syarat yang pertama adalah menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan di masa lampau. Kedua, membebaskan diri seketika itu pula dari dosa tersebut dan yang ketiga bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa yang akan datang. Ketiga syarat itu disebut dengan hakikat taubat yang nantinya akan menggerakan hati seseorang untuk mencapai yang namanya taubatan nashuha. (Penulis aktif sebagai Kepala MTsN 4 Indramayu)