Oleh : H. Ahmad Fadlali, S.Ag., M.A
Dalam ajaran Islam, ulama mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan peran yang maha penting dalam kehidupan umat, agama, dan bangsa. Secara garis besar, peran itu berupa tugas pencerahan bagi umat manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai waratsatul anbiya (Q.S. al-Jumuah: 2). Ini menunjukkan betapa mulia kedudukan ulama sampai Nabi SAW sendiri memposisikan mereka menggantikan peran dan fungsi nabi-nabi. Apa sebetulnya peran dan fungsi nabi? Sejarah para nabi adalah sejarah pembebasan, perjuangan dan pergulatan melawan ketidak adilan, merubah tatanan sosial-budaya yang korup, selalu berpihak pada golongan lemah, dan berorientasi pada transformasi sosial yang berkeadilan, egalitarian, kemaslahatan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai insaniyah.
Dalam tradisi Islam, konsep ulama berbeda dengan rahib dalam agama Yahudi yang memiliki institusi formal. Institusi kerahiban memiliki kekuatan politik tertentu, dan peran institusi kerahiban pun tidak netral. Tetapi, dalam tradisi Islam tidak mengenal konsep semacam itu. Ulama hanya berperan lewat proses penyadaran, bimbingan, dan peneguhan, tetapi tanpa melalui institusi keagamaan yang memborong seluruh kebenaran. Dalam catatan sejarah umat Islam, peran ulama melewati jalur-jalur kultural untuk melakukan proses penyadaran, bimbingan, dan peneguhan terhadap umat.
Namun sayangnya kini banyak dilihat ulama keluar dari peran dan fungsinya, bahkan beberapa Ulama yang hanya mementingkan kepentingan individu dan mengambil jarak dengan masyarakat. Oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum Al-Din, ulama tersebut termasuk katagori ulama Su (ulama yang buruk perangainya). Al-Ghazali membagi ulama ke dalam dua kategori: ulama Su dan ulama Hak/akhirat. Yang pertama adalah ulama yang hanya disibukkan dengan mencari kekayaan dan kekuasaan. Sebagai antitesisnya adalah ulama akhirat yang memiliki sifat dan karakteristik sebaliknya.
Ulama Su, biasanya bila mengeluarkan fatwa hanya sekedar basa-basi atau pengguguran tugasnya saja, agar dia tetap dianggap kompeten di bidangnya. Jarang sekali, fatwa yang diberikan betul-betul keluar dari hati nurani dan berniat membela umat yang tertindas. Terhadap fenomena, Kecelakaan Transportasi, gempa bumi, penggusuran, perdagangan wanita dan anak kecil, biasanya ulama hanya tutup mulut saja. Namun, terhadap persoalan yang sebetulnya hanya bersifat fiqih oriented yang menekankan pada halal-haramnya sesuatu, mereka akan buka suara sekeras-kerasnya. Yang lebih ironis lagi, jika para ulama yang semestinya menjadi penjaga moral, banyak yang menjadikan profesinya sebagai lahan untuk mata pencaharian, seperti ; sikap sebagian ulama terhadap para calon eksekutif dan legislatif menjelang pemilu/pemilukada yang sowan ketempatnya, hanya dimaksudkan untuk mengeruk manfaat dan keuntungan pribadi tanpa memperhatikan kepentingan umat yang lebih luas.
Ulama dan Pemerintah
Dalam konteks Indonesia, ulama dan pemerintah merupakan dua serangkai yang apabila terjadi keretakan diantaranya akan melahirkan disharmoni ditengah-tengah umat. Sungguh tidak konstruktif jika pemerintah melaju tanpa kontrol, disatu sisi ulama berdiri sendiri dipuncak menara spiritual tanpa pernah membumi. Namun demikian menjadi tidak baik jika satu diantara keduanya terkooptasi oleh yang lain. Misalnya, ketika ulama cuma berfungsi sebatas pemberi legitimasi hukum (agama) dari segala kebijakan yang ditempuh pemerintah. Atau sebagai mobilisator untuk mempertahankan rezim (status quo) yang tengah berkuasa baik ditingkat Pusat maupun daerah. Jika ini yang terjadi maka mungkin ada benarnya seperti dikatakan Al-Ghazali, ulama telah kehilangan jati diri sebagai pewaris nabi, dan tergelincir pada posisi sebagai agen kepentingan kekuasaan.
Sebaliknya, jika pemerintah terkooptasi oleh ulama maka tidak menutup kemungkinan munculnya pemerintahan teokratis. Inipun kurang bijak, sebab keputusan manusia tidak dengan sendirinya bisa diklaim sebagai kebenaran atas nama Tuhan. Sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran, manusia memiliki banyak kelemahan, seperti; mengingkari kebenaran ( Q.S. Al-Adiyat; 6) suka tergesa-gesa (Q.S. Al-Isra; 11) Zhalim dan bodoh (Q.S. Al-Ahzab; 72), dan lain sebagainya.
Seperti disinggung Muhammad Asfar (1996), hubungan ulama dan pemerintah terasa timpang akibat faktor sumber kekuasaan yang berbeda, sehingga daya tawar menawar ( baca ; bargaining position) ulama menjadi lemah. Dalam banyak kasus, ulama banyak dimanfaatkan penguasa bukan malah sebaliknya” untuk memback up program dan kebijakan penguasa maupun sebagai pengumpul pundi-pundi suara dalam Pilpresa maupun Pilkada. Peran politik ulama lebih tampak sebagai patner pasif, kurang mengambil inisiatif. Seharusnya ulama mampu berperan sebagai counterpart.
Oleh karenanya, sudah saatnya mengembalikan fungsi, peran serta kedudukan ulama sebagai waratsatul anbiya. Agama harus diabadikan untuk tujuan dan kepentingan manusia dan kemanusiaan, yakni kemaslahatan dunia maupun akhirat (saadah fi al-daraen). Seperti yang dikatakan Ibnu Battal: agama adalah teori dan aksi(anna al-dien yaqau ala al-qaul kama yaqau ala al-amal). Artinya, agama harus mampu melakukan transformasi sosial-budaya dengan ulama sebagai pelakunya. Ulama sudah sepatutnya memegang peranan mulia tersebut.
Untuk itu, ada empat tugas utama yang harus dijalankan ulama sesuai dengan tugas kenabian dalam mengembangkan kitab suci, yaitu; pertama, menyampaikan (tabligh) ajaran-ajaran-Nya sesuai dengan perintah (Q.S. Al-Maidah ; 67). Kedua, menjelaskan ajaran-ajaran-Nya berdasarkan ayat (Q.S. An-Nahl ; 44). Ketiga, memutuskan perkara atau problem yang dihadapi masyarakat berdasarkan ayat (Q.S. Al-Baqarah ; 213). Keempat, memberikan contoh pengamalan. Jika peran dan fungsi ini dijalankan secara benar oleh ulama, maka tidak akan terdengar lagi ulama yang ditinggal oleh umatnya, bahkan sebaliknya. Amien. (Penulis adalah Kepala MTsN 4 Indramayu)