Oleh: H. Ahmad Fadlali, S.Ag., M.A.

 

Media social seperti facebook, twitter, instagram, tiktok dan lainya telah menjadi salah satu sarana komunikasi yang paling populer di Masyarakat Indonesia bahkan di dunia. Menurut data dari We Are Social, pada tahun 2023, terdapat 4,88 miliar pengguna media sosial di dunia. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat di tahun tahun selanjutnya. Peningkatan jumlah penggunaan media sosial ini tentunya telah membawa pengaruh yang signifikan terhadap opini publik, memiliki sisi positif dan negatif yang sangat signifikan. Oleh karena itu, penting bagi pengguna media sosial untuk bijak dalam menggunakan media sosial

 Sebagai seorang muslim, tentunya dalam menggunakan media sosial harus senantiasa menjunjung tinggi adab atau tata cara bersosial media dengan benar dan bijak, menghindari prasangka su’udzon atau buruk sangka, ghibah, fitnah, sebagai sarana untuk meneliti fakta, melakukan kroscek sebelum berpendapat (tabayun) dan sebagai media untuk menebar kebaikan. Jika adab bermedsos tidak bisa kita junjung, maka alangkah baiknya kita berhenti (baca; puasa) bermedsos, supaya tidak menambah dosa dan kemudharatan apa lagi dalam suasana puasa bulan Ramadhan.

Terkait dengan puasa, al-Quran menggunakan kata “shiyam” sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat. Namun terdapat satu ayat al-Quran yang menggunakan kata “shaum”, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak berbicara. Puasa berupa penahanan diri dari berbicara dalam al-Qur’an pernah dijalankan oleh Maryam, ibunda Nabi Isa al-Masih. sebagaimana dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia- pun. (QS Maryam : 26).

Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran anaknya (nabi Isa a.s.). Kata ini juga (baca; shaum) terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan, sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik untuk kamu”, dan sekali menunjuk kepada pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaiminn wash-shaimat.

Menurut para ahli, puasa merupakan salah satu bentuk ibadah yang paling pertama serta yang paling luas tersebar di kalangan umat manusia. Bagaimana puasa itu dilakukan, dapat berbeda-beda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu tempat ke tempat yang lain. Bentuk puasa yang umum selalu berupa sikap menahan diri dari makan dan minum serta dari pemenuhan kebutuhan biologis. 

 

 Secara lahiriah, puasa yang pertama di dalam tarekat adalah puasa menutup mulut atau puasa bicara baik melalui mulut maupun media social (Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok, dll). Puasa bicara bukan berarti meninggalkan segala pembicaraan, namun mengurangi semaksimal mungkin pembicaraan apalagi pembicaraan yang bisa menyakiti orang lain. Dalam hadis Shahih Bukhari, Rasulullah saw bersabda :

“Tidak dihitung mukmin, orang yang suka melaknat orang lain, suka menyakiti hati orang lain, atau berkata kotor.” 

Dalam kondisi tidak puasa-pun, hal tersebut tidak boleh dilakukan, apalagi ketika kita sedang berpuasa. Yang dimaksud dengan puasa bicara adalah meninggalkan pembicaraan yang kotor, postingan yang tidak pantas dan mengurangi pembicaraan yang tidak berguna/bermanfaat. Karena sesungguhnya salah satu ciri mukmin yang sejati adalah menghindari pembicaraan yang tidak ada manfaatnya. Betapa banyak kita temukan masalah yang disebabkan karena ucapan, status, dan postingan di medsos.

Ramadhan adalah momen berharga bagi setiap insan, bukan hanya untuk membersihkan harta lewat zakat fitrah (Q.S. Al-An’am: 141), namun juga penggemblengan jiwa melalui puasa sebulan penuh untuk selanjutnya dijadikan sebagai penataan karakter jati diri manusia. Sebab betapa sifat-sifat tidak terpuji seperti fitnah, mengumbar kejelekan orang, mencaci maki dan sifat kurang hormat pada orang lain terbina secara otomatis oleh keadaan perut lapar, lemah badan dan mulut kering dari makanan. 

Mengurangi pembicaraan di medsos dengan menggantinya memperbanyak postingan yang baik, dzikir dan pikir mengenai perjalanan hidupnya akan menjadi proses pembebasan rohani untuk memasuki pengalaman berada di sisi Allah. Karena itu, jika puasa seseorang hanya sampai pada kemampuan menahan rasa haus dan lapar saja, tetapi tidak dilanjutkan dengan olah batin guna memasuki dan mengalami hidup dalam realitas spiritual, puasanya hanya menyentuh dimensi fisik saja, ia hanya merasakan kehausan dan kelaparan yang melelahkan.

Manusia ketika banyak bicara, maka tidak akan mampu untuk mendengarkan isyarat-isyarat gaib yang datang kepadanya, bahkan kata-kata hati nuraninya sendiri. Suara mulutnya terlalu riuh sehingga isyarat-isyarat dari alam malakut (alam ruh) tak terdengar oleh batin karena terlalu banyak mendengarkan suara diri senidiri. Disamping itu banyak bicara menyebabkan manusia menjadi tuli karena pembicaraan orang lain tidak begitu terdengar dan kalah dengan suaranya sendiri. Mudah-mudahan kita dapat melewati puasa bermedsos selama satu bulan penuh dan dapat memetik hasil yang indah serta masuk dalam katagori ibadahnya orang merdeka yaitu orang yang beribadah hanya karena bersyukur kepada Allah sebagaimana yang dikatakan Ali ibn Abi Thalib dalam kitab Nahj al-Balâghah. (Beliau adalah Kepala MTsN 4 Indramayu)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *