Oleh: Maulana Al Athaa
Apa yang harus anda jawab sebagai masyarakat indramayu ketika ada sebuah pertanyaan tentang Indramayu. Buah mangga nya yang enak, perempuannya yang cantik-cantik, atau membuka isi dapur nya. Tentu, kita harus menjawab nya dengan lantang.
Dalam era pembangunan yang melaju pesat menuju negara industri, persaingan untuk memperoleh penghidupan yang baik sangat banyak ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang. Daya saing seseorang dengan pendidikan tinggi tentunya lebih kuat dari pada mereka yang berpendidikan rendah, disamping lahan perkerjaan yang semakin terbatas. Krisis moneter dan ekonomi telah memberi dampak sistemik bagi kehidupan masyarakat, utamanya dalam aspek ekonomi.
Hal tersebut tentu mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah pengangguran dan akhirnya menjadi faktor pendorong bagi tenaga kerja untuk mengerjakan apapun untuk mendapatkan uang walaupn bertentangan dengan hukum, moral, dan etika misalnya mencuri, dan bekerja sebagai pekerja seks komersial.
Sementara masyarakat Indramayu berupaya bertahan demi keluarganya dengan menjadi TKW/TKI, mereka berani berkorban dengan pertaruhkan nyawa dan harga diri demi untuk mencukupi kebutuhanya. Saat masih duduk di bangku sekolah, stigma buruk mengenai perempuan Indramayu sudah sering terdengar dan terkenal dengan sebutan; Pelacur, wanita murahan dan sebagainya. ia, serendah itu wanita indramayu di mata orang lain sampai menjustifikasi perempuan indramayu dengan sebutan yang tidak enak untuk didengar. Marah?. tentu jelas sangat marah.
Beberapa Minggu yang lalu, saya berkesempatan hadir dalam acara diskusi dan bedah film karya mas Kedung darma romansa yang berjudul “RABI”. Film pendek “RABI” merupakan sebuah karya yang diadopsi oleh cerita pendek dari seorang sastrawan asal indramayu melalui karya buku nya yang berjudul “Rab(b)i. Mas Kedung darma romansa adalah seorang penulis, aktor, seniman, sastrawan.
Ia membuat buku cerita pendek yang berjudul “Rab(b)i” sebagai bentuk kepedulian nya terhadap persoalan-persoalan yang tidak relevan agar kita sebagai mahkluk hidup bisa lebih saling menghargai dan menerima keadaanya; memanusiakan manusia. film tersebut membuat kita untuk berfikir secara luas, objektif dalam menyikapi sebuah persoalan, realita dan fenomena yang ada pada lingkuan sekitar kita. Menurut saya film pendek ini sangat keren dan memberikan kesan bagi setiap penontonnya. meskipun judul lumayan sensitif bagi sebagian orang, akan tetapi saya tidak mempermasalahkan nya, karena yang terpenting dalam film itu sendiri adalah memberi pesan dan isi dalam setiap alur ceritanya.
Saat pembuatan film ini, saya sempat di ajak untuk ikut casting pembuatan film RABI oleh kawanku wahyu topami. dia menceritakan mengenai pembuatan film tersebut dan pada saat itu saya mulai sedikit tertarik untuk mengikuti casting film tersebut. Tapi, menjelang hari pelaksanaan open casting yang diadakan di salah satu universitas di indramayu, kebetulan saya ada suatu kendala yang menyebabkan saya tidak bisa mengikuti casting film itu. Kawanku menceritakan, bahwa ketika saya lolos casting akan langsung menjadi pemeran dalam film tersebut; Tanda tangan kontrak, gaji, dan semua fasilitas saat syuting akan di tangguhkan oleh tim pembuatan film tersebut.
Pada acara nonton bareng dan diskusi film RABI saya menyempatkan untuk hadir dalam pemutaran film perdana tersebut. ia, saya memang belum tau, apa isi dan makna dari film tersebut. Karena memang saya belum sempat membaca Sebuah karya cerpen mas Kedung yang di adopsi dalam film itu. You know lah, kawan.! Bahwa ketika kita melihat segala sesuatu jangan dilihat dari luar nya saja (Read: Baca buku jangan dilihat dari cover). Begitupun dengan film RABI itu sendiri, masyarakat Indramayu pasti paham betul apa itu istilah “RABI”. yang mana kita tau bahwa Judul dari film tersebut sangat sensitif bagi orang awam.
Persoalan dan fenomena yang tertuangkan dalam film tersebut merupakan sebuah realita yang ada pada lingkungan sekitar kita. apa yang mesti kita lakukan dalam menyikapi sebuah persoalan yang ada pada sekitar lingkungan kita?. Saya tidak sepakat, ketika stigma buruk acap kali dideskripsikan pada tanah kelahiran kita. “Indramayu terkenal dengan wanita (sensor)”. Sebab, tidak hanya di Indramayu saja, diluar indramayu juga pasti ada hal-hal yang demikian tersebut.
Hanya saja tanah kelahiran kita mendapatkan paradigma yang begitu tidak mengenakan. Para oknum yang tidak bertanggung jawab yang merusak nama baik tanah kelahiran kita yang mengakibatkan “Indramayu terkenal dengan sisi negatifnya”. Hey bro and sist, Indramayu tidak kekuarangan orang hebat, banyak alim ulama, habaib dan para kyai yang lahir dan tinggal ditanah ini.tentunya, Indramayu memiliki perempuan-perempuan hebat dalam bidang dan prestasinya yang tidak semua orang tau akan berita tersebut. Jadi, berbangga lah kalian masyarakat Indramayu yang berada di perantauan, jangan malu ketika di tanya “Asli dari kota mana”. jawab saja, “Dari indramayu yang terkenal dengan sebutan kota mangga”. Sebab, ini menjadi sebuah identitas kita agar sedikit demi sedikit paradigma mengenai tanah kelahiran kita dapat hilang dengan sendirinya meskipun membutuhkan waktu yang lumayan lama.
Angka penceraian di Indramayu sangat tinggi, ditambah pula peningkatan tenaga migran perempuan yang bekerja di luar negri setiap tahun meningkat. Ini persoalan kita bersama dalam menuntaskan setiap problematika yang terlihat di kasat mata. Sistem adalah benda mati, yang dapat menghidupkankan nya adalah kita sendiri dengan keniatan untuk menyikapi segala persoalan yang ada pada lingkungan kita. Tentunya pemerintah daerah sebagai pemangku kebijakan harus memberi solusi terkait permasalahan dan persoalan. “Gusur menggusur bukan suatu solusi untuk menghilangkan praktek prostitusi”. Pemberdayaan, pendampingan, dan jaminan hak warga harus di jamin. karena mereka juga bagian dari warga negara yang hak nya sama seperti Masyarakat pada umumnya.
Dalam diskusi film tersebut saya mendapatkan pelajaran yang sangat berarti melalui jawaban dari narasumber pada saat diskusi yang berlangsung kemarin siang. meskipun rata-rata yang hadir dalam acara nonton bareng dan diskusi film kebanyakan berasal dari kalangan akademisi dan saya hanya sebagai penikmat sepakbola, tetapi saya tidak berkecil hati karena ingin mencari wawasan baru.
Kita harus paham betul, mengapa banyak perempuan yang memilih jalan hidupnya seperti itu. Seperti halnya “Kharisma” pemeran utama film rabi. Diceritakan kharisma mempunyai masalah kejahatan seksual yang di alaminya karena ulah dari pamanya. Ia, mengalami tindakan yang tak terpuji sehingga mengakibatkan kharisma menjadi frustasi dan memilih jalan hidupnya untuk mencari kebahagiaan nya sendiri melalui pekerjaan yang dirasa cukup untuk kebutuhan ekonomi. Dari cerita kharisma, kita dapat mengambil pelajaran bahwa semua wanita tidak mau bercita-cita ingin menjadi pelacur. Karena berbagai faktor yang mungkin mereka memilih jalan hidupnya seperti itu.
Memang pola pikir pelacur jaman dulu dan jaman sekarang itu berbeda. jaman dulu pelacur terjun ke prostitusi demi menghidupkan ekonomi nya, namun pelacur jaman sekarang demi menaikkan gengsi dan gaya hidupnya.
Mereka mempunyai hak yang sama seperti kita sebagai warga negara yang berpedoman Pancasila. Tugas kita bukan menghakimi, kita hanya perlu mencari solusi dalam setiap persoalan yang terjadi. Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang memanusiakan manusia. Kita sama-sama manusia, semoga kita tetap selalu memanusiakan manusia. (Penulis adalah M.A.A Penikmat Sepakbola)